“Perayaan Hanta U’a Pua tidak hanya sekedar prosesi biasa, tetapii Hanta U’a Pua mengandung sebuah janji yang disimbolisasikan dengan siri puan yang dihantarkan oleh Penghulu melayu kepada Sultan Bima kala itu. “ bahwa setiap pembesar Dana Mbojo dari Sultan, Turelli, Jeneli dan Gelarang harus berpegang teguh ajaran Islam dengan benar dan sungguh-sungguh”. Itulah perkataan yang tertulis dalam naskah-naskah lama.
Perayaan Hanta U’a Pua sendiri sebenarnya mulai dilaksanakan pada masa Pemerintahan Sultan Abil Khair. Pada saat itu, U’a Pua merupakan sebuah prosesi budaya, karena Sultan Abil Khair sangat cinta terhadap seni dan budaya. Makanya, para penerus keluarga Melayu yang menyebarkan Islam di tanah Bima menyepakati agar Islam tetap terus dapat di syiarkan di tanah Bima dibuatlah sebuah prosesi seni dan budaya, tetapi tidak meninggalkan nilai-nilai syiar Islam.
Jadilah prosesi adat Hanta U’a Pua sebuah perpaduan seni dengan prosesi ritual yang mensimbolkan tentang janji yang harus selalu diingat oleh Sultan”, janji dan peringatan ini disimbolisasikan dengan 99 buah bungan telur (bunga dolu) yang melambangkan asmaul husnah. Bungan dolu inilah yang menjadi sirih puan, setelah pada malam harinya di Kampung melayu diadakan dzikir roko.
Keesok harinya, sirih puan diusung menggunakan uma lige. Juga didalamnya terdapat tarian, yaitu tarian lenggo mbojo dan tarian lenggo melayu. Tari-tarian inilah yang menjadi sebuah kesenian yang sakral pada saat itu. Sakral karena tariang lenggo mbojo dan melayu ini hanya dipertunjukan pada saat-saat tertentu saja, seperti pada perayaan-perayaan Islam. “begitulah perayaan U’a Pua adalah prosesi adat yang dipadukan dengan seni yang tentunya bernuansa islami, Islampun tetap terus di syiarkan sekaligus mengingatkan Sultan untuk terus menjalankan Islam dengan benar dan bersungguh-sungguh”.